Jaringan rumah makan siap saji asal Indonesia. Restoran ini menyajikan makanan khas Indonesia seperti nasi goreng, mi goreng, kwetiau goreng, dan masih banyak lagi. Saat ini sudah terdapat lebih dari 50 gerai di kota-kota di Indonesia.
Isu mengenai penggunaan angciu dan minyak babi di restoran “S” ternyata masih merebak. Meskipun sudah dibantah oleh manajemen “S”, kabar fiktif itu terus bergulir di media sosial.
Inilah kisah dosen akuntansi salah satu universitas negeri tentang restoran “S” yang tidak memiliki sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
“Ada kerabat yang mau beli franchise “S”. Tapi ketika mau bikin kontrak perjanjian, ternyata pihak pemilik franchise mewajibkan penggunaan angciu (arak) dan minyak babi dalam beberapa masakan,” ujarnya.
Hal itu dikomentari oleh teman saya yang ikut saat mau bikin kontrak perjanjian. “Lho, itu kan haram?” protesnya.
Tapi, kata Prof, jawaban pemilik franchise sungguh arogan dan mencengangkan. Menurut pemilik franchise, “S” mewajibkan menunya menggunakan minyak babi dan angciu.
”Di sini (“S”) wajib pakai itu. Lagian kita gak pakai label halal kok. Kalau gak mau ya sudah,” ujar pihak “S” sebagaimana diungkap Prof.
Sementara PT “SS” selaku perusahaan yang membawahi restoran ini membantah hal tersebut.
“Isu yang berkembang itu tidak benar. Minyak-minyak kami memakai brand-brand halal. Semua makanan kami halal,” kata Operational Manager “S”, Namun ia membenarkan bahwa sampai saat ini perusahaan belum mempunyai sertifikasi halal dari MUI.
Saat ini perusahaan sedang mengumpulkan sertifikat-sertifikat dari para supplier. “Supplier kita kan banyak, kita sedang kumpulkan sertifikatnya sebagai syarat mengurus ke MUI,” katanya.
Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) membenarkan restoran “S” belum mengantongi sertifikat halal.
“Maka, bersama ini disampaikan bahwa MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia belum pernah melakukan pemeriksaan atas produk makanan/minuman dan atau mengeluarkan sertifikat halal untuk restoran “S” di mana pun,” tulis MUI di situs resminya
Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemilik bisnis “S” salah? Yang salah utamanya adalah bila ada pebisnis Muslim yang tutup mata dan tetap mengambil bisnis ini. Lebih salah lagi adalah para Muslim yang sudah tahu info ini tetapi juga tutup mata dan makan di sana.
Karena itu, informasi ini hendaknya tidak untuk diri sendiri. Kabarkan kepada saudara Muslim di seluruh Nusantara dan Internasional akan haramnya “S”.
Dalam hubungan itu, ada sebuah kisah nyata. Dikisahkan ada seorang ustadz senior dari Indonesia duduk di rumah makan di negara Singapura. Dia kemudian didatangi oleh pelayan rumah makan tersebut. Melihat jenggot panjang tamunya, pelayan menyapa, “Apakah bapak Muslim?” tanya pelayan kepada tamunya.
“Ya, saya Muslim,” jawab ustadz.
“Maaf, di sini restoran pakai babi. Bapak sebaiknya makan di restoran sebelah yang halal 100%,” saran si pelayan.
“Terima kasih,” jawab ustadz yang kemudian berdiri dan pindah ke restoran sebelah.
Kembali ke negeri kita. Meski Muslim di negeri ini mayoritas, tetap tidak bisa memaksa pihak pengusaha rumah makan harus memakai label halal dan atau harus seperti yang kaum Muslimin inginkan.
Umat Islam sendiri yang harus mawas diri, saling menasihati, mana halal dan mana haram (juga meragukan karena bercampur antara yang halal dengan yang haram) sebagai tanda kedewasaan keimanan kita.
Sementara itu untuk para pengusaha restoran yang menggunakan barang-barang yang haram dalam pandangan Islam, hendaklah mencantumkan label mengandung babi atau mengandung arak dan seterusnya pada rumah makannya.
Sekiranya imbauan ini tidak diindahkan, maka umat Islam melalui elemen ormas-ormas yang ada akan bertindak. Apa tindakannya? Yakni dengan memberi label yang sangat besar dan menempelkanya di tempat usaha yang haram tersebut dengan label mengandung babi atau angciu atau lainnya yang mengharamkan. Hal ini untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari mengonsumsi makanan haram.
Karena itu, untuk menjaga dari masuknya makanan yang mengandung minyak babi, arak angciu, dan yang sejenis, umat Islam seyogianya tidak mendatangi rumah makan yang diduga menggunakan kandungan haram tersebut, tidak pula duduk, apalagi makan dan minum di sana!
See more at: http://salam-online.com/2013/08/diprotes-gunakan-angciu-minyak-babi-jawaban-solaria-dinilai-arogan.html#sthash.MY1XNArb.dpuf
ANALISIS
Berbagai kasus yang ada menunjukkan bahwa etika bisnis belum di jalankan secara maksimal baik di lihat dari etika promosi maupun keadilan konsumen. Menurut Mahmoedin (1996 : 7) akibat para pelaku bisnis yang tidak memperhatikan etika dalam bisnis adalah :
- Perusahaan / bisnis yang rusak namanya karena tidak menggunakan etika dalam berbisnis akan dimusuhi mitra usahanya.
- Bisnis yang tidak menghiraukan etika akan hancur karena konsumen bukan benda mati yang gampang dibodohi.
- Jika bisnis itu merusak lingkungan, maka akan rugi bahkan masyarakat akan menghukumnya sebagai perusak alam dan lingkungan yang pada gilirannya perusahaan tersebut akan dikucilkan.
- Kekuasaan yang terlalu besar dari bisnis jika tidak diimbangi dengan tanggung jawab social yang sebanding akan menyebabkan bisnis tersebut menjadi kekuatan yang merusak masyarakat.
Dengan kasus diatas perlu diperhatikan prinsip-prinsip etika bisnis menurut Mahmoedin (1996 : 81) :
- Bersifat Bebas : Kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak etis. Manager harus bebas mengembangkan usahanya.
- Bertanggung Jawab : Perbuatan yang menjunjung tinggu etika dan moral, sehingga kebebasan diberikan dapat dipertanggung jawabkan.
- Bersikap Jujur : Kejujuran adalah suatu jaminan dan dasarbagi kegiatan bisnis terutama dalam jangka panjang.
- Bertindak Baik : Secara aktif melakukan kegiatan berbuat baik kepada masyarakat dan kegiatan yang saling menguntungkan dengan masyarakat.
- Bersikap Adil : Memperlakukan setiap orang sesuai dengan hak.
- Bersikap Hormat : Menghargai orang lain.
- Bersikap Informatif : Informasi diperlukan bagi konsumen dan pelanggan tentang produk barang dan jasa yang ditawarkan.
Keadilan dalam konsep pemenuhan hak konsumen berkaitan dengan transaksi antara perusahaan / pebisnis dengan konsumen harus menerapkan berbagai norma moral dan etika yang berlaku di lingkungan masyarakat yang meliputi kebenaran, kejujuran dan keadilan, sehingga kalau terjadi ketidak adilan kepada konsumen, pebisnis harus bertanggung jawab.
Guna melindungi konsumen muslim yang selama menjadi pelanggan restoran, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau restoran atau rumah makan yang belum bersertifikasi halal agar segera mengajukan sertifikasi halal. Untuk berhati-hati sebaiknya masyarakat muslim Indonesia menahan diri terlebih dahulu sampai sertifikasi halal dikeluarkan. Merujuk pada hukum islam, jika tidak tau ya tidak apa-apa, lebih baik berhati-hati dalam segala sesuatu.
Sumber : “Jurnal Bisnis dan Keadilan Konsumen”, Oleh : Rodhiyah